09072011
0834
Kentang bulat tidak sempurna dengan beberapa permukaan agak gepeng dan beberapa titik menjorok kedalam lambat laun berubah menjadi sebuah benda bulat kuning berpermukaan lembut sebagai akibat dari kecupan bibir belati yang sedari tadi tak henti-hentinya beraksi berkat dukungan lenganku sebelah kanan sementara sikentang disebelah kirinya.
Aku harus bangun pagi ( tidak pernah lagi seperti ini apalagi selama kuliah, terakhir seperti ini waktu zaman SMP dulu ). Sekitar pukul 4:45 tadi aku terpaksa bangkit, beranjak meninggalkan karpet karet yang telah ku anggap sebagai king size bed merek King Koil yang begitu menyamankan ( buktinya aku selalu tertidur pulas dan menikmati tidur malam, maupun siang ku ). Basa, adikku paling kecil, kutugasi mencuci piring dan menanak buliran-buliran putih yang bernama beras yang katanya warisan dari dewi sri.
Aku sendiri harus menyiapkan telur mata kerbau (di Malaysia [dulu] disebut seperti itu yang nyatanya adalah telur mata sapi di sini), mie goreng dan sayur wortel feat kentang, yang sudah kujanjikan semalam akan menjejali bontot adik ku, Rita, yang hari ini mengikuti ujian UMB. (Memasak untuk keluarga ini adalah warisan berharga yang ku dapat dari almarhum ayahku yang pemabuk dan tidak pernah (sangat jarang) menyetor gaji. Tapi dia paling nggak nahan untuk menghentikan kedua belah tangannya yang digerakkan oleh hatinya untuk menyiapkan nasi goreng atau mie buat kami anak-anaknya yang kelupaan makan hanya karena tontonan di saluran tv yang sebenarnya tidak lebih enak dari ……..[nggak perlu dilanjutin])
Percakapan dengan topik yang silih berganti antara sipengupas kentang (aku) dan sipencuci piring (Basa) terus bergulir. Melihat kulit-kulit kentang yang sebentar lagi akan menjadi sampah, aku teringat akan pelajaran IPA kelas 4 SD dulu sekali. Aku lupa di halaman berapa, topik apa, bab berapa dan judul bukunya apa serta penerbit apa, apalagi penulisnya. Tapi bukan berarti ini tidak ilmiah walau tanpa rujukan pustaka. Ada 3 nama binatang beruntung yang tersimpan dalam memoriku dan mungkin banyak oranglain, bukan karena cinta terpendam, tapi memang karena kulit kentang tadi. Tanpa ada prioritas kualifikasinya yang pertama adalah Cicak yang bisa serta merta memutuskan ekornya, Bunglon menyesuaikan warna kulitnya dengan tempat ia menapak, cumi-cumi yang menggelapkan air di sekitarnya dengan semprotan tintanya. Hal ini erat kaitannya dengan kata bijak orang barat “No pain, No Gain.” (Andai ketiga binatang ini bisa diinterview, pasti mereka akan memberikan komentar bahwa tidak mudah untuk melepas, mengubah atau mengeluarkan bagian dari tubuh mereka. Namun demi kondisi yang lebih baik kenapa tidak.)
Masih menekuni profesi sementara ku, bergelut dengan belati dan kentang, sementara wortel masih dalam daftar tunggu diikuti bawang merah/ putih, cabe cs. Secara berurutan tanpa nomor antrian. Otakku terus berpikir tentang kulit-kulit kentang yang harus merelakan (lebih tepatnya dipaksa olehku, karena nggak mungkin kan aku makan kulit kentang ) dirinya terurai dan terhempas di atas lantai. Tak lagi dibutuhkan. Jika ditilik sedikit ke kitab yang menceritakan sedikit kisahnya, alangkah malangnya kentang tanpa kulit. Jika demikian adanya, sulit bagiku untuk menggambarkan kondisi sebulatan kentang yang tertanam didalam tanah yang subur (tempat dimana ia bertumbuh/berkembang) tapi juga tempat bernaungnya cacing et.al. serta bakteri-bakteri yang tak bisa ku sebutkan. Sungguh jika bisa ku ibaratkan kulit yang terbuang ini adalah dulunya merupakan baju jazirah/tameng bagi si kentang untuk bisa bertahan berbulan-bulan dalam pendaman perut bumi. Betapa berharganya kulit kentang ini (dulu). Tapi tidak sekarang. Dalam hidup ini sering kita harus melalui fenomena seperti kulit kentang ini. Dimana hal yang indah, yang baik, yang penting dari kita harus dilepas, ditinggalkan, dikelupas. Tidak rela adalah salah satu sikap yang kita ambil dan bahkan bisa sampai ketahap memperjuangkan bahkan mempertahankan.
Kita terlupa kalau tidak akan ada sayur kentang feat wortel lezat yg dicolek-colek oleh si sendok goreng genit yang menggeliat kegelian didalam dekapan kuali bermulut besar yang nantinya menghiasi meja makan dan memberikan kenikmatan yang tidak sekedar rasa kenyang kepada penikmatnya. Si pemasak sayur pasti nggak mau mengambil resiko terhadap kualitas masakannya dengan mempertahankan kulit kentang tetap melekat karena notabene ia adalah bagian yang penting.
Ada kala dimana kita merasakan perih dihati akibat pembohongan, pengkhianatan. Ada masa-masa berkabung yang tak kunjung terlupakan karena kehilangan orang terkasih maupun sang kekasih, ada juga waktu kita harus mengorbankan “harga diri” demi sebuah “harga diri” yang lain berupa resistensi idealisme, sering juga kita makan hati atas perlakuan yang kurang pantas atau layak. Atau sederhananya kita harus memeluk guling dan terisak saat
anjing (sahabat terbaik kita) harus dipotong/dibinasakan karena menggigit anak tetangga, atau merelakan mainan direbut adik yang meraung-meraung dan akhirnya mendapat pembelaan dari ayah dan ibu, atau banyak hal lain yang adalah sakit, perih, sampai mungkin mata hati turut mengucurkan buliran-buliran mutiara cair transparan namun kemerahan.
Berdarah.
Lemah.
Menyerah.
Pasrah.
Kita lupa bahwa semua itu hanyalah kulit-kulit kentang yang memang harus diuraikan dan dihempaskan demi memasuki cerita kita yang baru dengan kualitas diri yang mengalami transformasi dan integrasi.
Sekali lagi, “No pain, No gain!”
Makanya, aku begitu iba melihat makhluk-makhluk yang menamai diri mereka manusia tapi masih memilih untuk kompromi atau bahkan mencari jalan mudah/gampang hanya agar melewati posko pengupasan “kulit kentang”. Mereka terlalu nyaman dalam balutan kulit kentang yang sedari tadi juga tidak kupungkiri esensinya.
Mereka takut sakit,
Mereka enggan perih,
Mereka sungkan terluka,
Dan memilih tetap menjadi diri mereka yang lama,
Sungguh kenyamanan yang semu,
Berhadiah penyesalan yang kelu,
Berbuat apa-apa tak mampu
Terkungkung, terbelenggu,
Oleh tali temali baja yang membeku,
Pengecut adalah namamu.
Lama-lama aku juga jadi geram, karena dengan sebuah keikhlasan telah ku coba untuk membuat mereka paham, tapi aku ibarat malam, dihiraukan tidak, demi memeluk tilam.
Aku hanya mau mengingatkan jika kau terus begitu, maka kau hanya akan menjadi hidangan kentang feat wortel (jika wortel masih mau bergabung) dengan kulitmu yang masih melekat yang membuat manusia yang telah berpuasa 40 hari 40 malam pun akan masih berpikir untuk pada akhirnya menjatuhkan pilihan terhadapmu dan memindahkanmu keatas pinggannya. Apalagi kedalam gua konsumsi berpagar giginya.
Pembelaan akan dirimu, “perjuangan”mu, pertahananmu akan berakhir dengan sebuah pengabaian.
Untuk yang terakhir kalinya, “No pain, No gain!”
Melepas yang baik untuk yang lebih baik.
_derael_
Refleksi atas A Thousand Girls Like Me Alwy Rachman K isah Khatera serupa
tapi tak sama dengan kisah Oedipus. Serupa karena keduanya adalah tragedi.
Ident...
4 tahun yang lalu